Tanah baru

Selasa, 18 Februari 2014

Tanah Baru Aswaja Bogor

Tanah Baru, Kawasan Penegak Ahlusunnah Wal Jama'ah Sebagai mana yang dianut kaum muslim mayoritas di Indonesia yang berlandaskan Fiqih Mazhab Imam Syafi'i, Mazhab Tauhid Imam Asy'ari Wal Maturidi dan Mazhab Tasawuf Imam Junaidi Al-Bagdadi Juga Imam Ghozali

PANGERAN SHOGIRI


Dalam silsilah kesultanan Banten, pangeran Sogiri atau dikenal dengan nama pangeran Sugiri atau Pangeran Sageri adalah putra dari Sultan Ageng Tirtayasa -’Abul Fath ‘Abdul Fattah (1651-1672) yang juga masih keturunan Syarif Hidayatullah.

Sebenarnya Pangeran Sogiri mempunyai memiliki beberapa saudara diantaranya Maulana Mansyuruddin, makamnya terletak di Cikadueun Banten, Pangeran Sake atau juga dikenal dengan nama Pangeran Soheh, makamnya terletak di Citeureup. Sedangkan Pangeran Sogiri dimakamkan di Jatinegara Jakarta.

Pangeran Sogiri di Jatinegara dan dimakamkan disana. Pangeran Sogiri turut berperang melawan penjajah Belanda, dalam perjalanan perang melawan Belanda. Pangeran Sogiri sebagai keturunan Raja yang juga Ulama baik dalam bidang ilmu Fiqih dan sufi. Pangeran Sogiri tidak tinggal di Bogor, tetapi banyak keturunannya yang menetap dakwah hingga wafat dan dimakamkan di Bogor. diantaranya cicit beliau yaitu raden Kan'an dan Raden Muhiddin yang merupakan putra dari Raden Koyong Bin Pangeran Tanzil Arifin.

Raden Kan’an adalah Putra Raden Koyong. Konon bahwa Raden Kan’an dan Raden Muhyiddin (Iyi) semasa hidupnya bergelar Demang yang berada dibawah pemerintahan Tumenggung Wiradireja yang berkedudukan di Sukaraja, sedangkan Dalemnya adalah Aria Wiratanudatar (Dalem Cikundul).

Raden Kan’an dan Raden Muhyiddin (Iyi) berkedudukan di Tanah Baru. Keduanya tidak hanya sebagai pejabat pemerintahan melainkan juga Ulama yang masyur yang makamnya hingga kini selalu ramai dikunjungi para peziarah.

Dalam cerita yang berkembang di masyaratkat Tanah Baru konon kesaktian Raden Kan’an sangat tinggi hingga mengalahkan Mbah Khair, Pendekar Cimande saat itu. Dalam perjalanan hidupnya Raden Kan’an dan Raden Muhyiddin mempunyai keturunan yang hingga saat ini mendiami Tanah Baru. Hingga wafat kemudian Raden Kan’an dan saudaranya Raden Muhiddin, dimakamkan berdampingan di Astana Gede, Tanah Baru, Bogor Utara.
(sumber: Majalah Gentara Madani)
Mohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan
penulis mempersilahkan kepada para pembaca untuk memberikan koreksi dari penulisan apabila terdapat kesalahan dan berkenan memberi dan berdiskusi dengan bukti sejarah yang lebih akurat

Sabtu, 02 April 2011

Sejarah Pakuan


PAKUAN


Mengapa bekas Pakuan itu kosong tanpa penghuni ketika ditemukan oleh Scipio dalam tahun 1687? Itulah pertanyaan yang seringkali terlontar dari banyak pihak. Dan paparan di bawah ini, mudah-mudahan, bisa menjelaskan.. 

    1.Masa Tilem Waktu antara "Pajajaran sirna" sampai "ditemukannya kembali" oleh ekspedisi Scipio (1867) berlangsung kira-kira satu abad. Kota yang pernah berpenghuni sekitar 48.271 jiwa ini ditemukan sebagai "puing" yang diselimuti oleh hutan tua (geheel met out bosch begroeijt zijnde; 1703). Untuk jamannya, Bogor merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Demak yang berpenduduk 49.197 jiwa, dan masih dua kali lipat lebih banyak dari penduduk Pasai (23.121 jiwa) yang merupakan kota terbesar ketiga. Pakuan tersisih dari percanturan hidup. Kemewahan yang ditampilkan oleh penghuni keraton dalam masa Nilakendra hanyalah ibarat kobaran api lilin menjelang padam. Setelah raja tak lagi berdiam di ibukota, kehidupan Pakuan sebagai pusat pemerintahan sebenarnya sudah berakhir.

     Panembahan Yusuf dari Banten memadamkannya "secara resmi" walaupun sebenarnya ia sudah berhasil mengakhiri kekuasaan Raga Mulya (Suryakancana) di Pulasari sebelum itu. Dan masa silam yang lebih sering memantulkan gema yang kabur itu, proyeksinya dapat kita lihat dalam lakon pantun dan babad. Penduduk Kedunghalang dan Parung Angsana sendiri yang mengantarkan Scipio pada 1 September 1987, menjadi peziarah pertama setelah terpisah satu abad dengan kehidupan Pakuan. Tak heran, mereka menduga puing kabuyutan Pajajaran yang mereka temukan sebagai singggasana raja. 

        Dalam tahun 1703, Abraham van Riebeeck sudah melihat adanya sajen yang diletakkan di atas piring di kabuyutan tersebut. Jadi sejak ditemukan rom an Scipio, orang merasa "bertemu kembali" kembali dengan Pajajaran yang telah hilang. Tahun 1709, Van Riebeeck melihat ladang baru pada lereng Cipakancilan. Tanda kehidupan baru di bekas Pakuan mulai muncul. Mudah diperkirakan bahwa peladang itu akan membuat dangau tempat tinggalnya pada tepi alur Cipakancilan yang tidak kelihatan oleh Van Riebeeck karena ia berkuda pada jalur Jalan Pahlawan yang sekarang. Lain lahan lain pikiran. Pakuan bukan hanya lahan melainkan juga kenangan. Lahannya "dihidupkan kembali" tetapi kerajaanya takkan kembali. Inilah yang dirindukkan dan disenandungkan oleh para pujangga dalam karyanya setiap kali gema Pajajaran menyentuh hati mereka: "Geus deukeut ka Pajajaran ceuk galindeng Cianjuran, Jauh keneh ka Pakuan ceuk galindeng panineungan". (Sudah dekat ke Pajajaran menurut lantun Cianjuran, Masih jauh ke Pakuan menurut lantun Kenangan) Pakuan terasa dekat, tetapi tak kunjung sampai. Kedekatan batin terhadap Pajajaran ini akhirnya menjelmakan gagasan Pajajaran Ngahiang atau Pajajaran Tilem seperti orang Ciamis yang kehilangan Galuhnya mencetuskan dunia onom. "Pajajaran henteu sirna, tapi tilem ngawun-ngawun" (Pajajaran tidak hilang, Pakuan hanya ngahiang). Ini adalah kata-kata orang tua yang tidak mau kehilangan Pajajarannya, bahkan mereka berani menghibur diri dengan berkata: "Ngan engke bakal ngadeg deui" [Suatu saat akan berdiri kembali). 

    2. Tanuwijaya peletak dasar "Negeri Bogor" Riesz dalam De Geschiedenis van Buitenzorg (1887) menjelaskan bahwa Tanuwijaya adalah orang Sunda dari Sumedang yang berhasil membentuk "pasukan pekerja" dan mendapat perintah dari Camphuijs untuk membuka hutan Pajajaran sampai akhirnya ia mendirikan Kampung Baru yang menjadi tempat "kelahiran" (de bakermat) Kabupaten Bogor yang didirikan kemudian. Adapun Tanuwijaya, dalam catatan VOC disebut Luitenant der Javanen (Letnan orang-orang Jawa) dan merupakan Letnan Senior di antara teman-temannya.

         Kampung Baru yang didirikannya ada di Cipinang (Jatinegara) dan di Bogor. Yang di Bogor mula-mula bernama Parung Angsana. Tetapi ketika Tanuwijaya pindah dari Kampung Baru Cipinang ke sana, ia kemudian memberi nama Kampung Baru. Sekarang bernama Tanah Baru. Terpengaruh oleh kunjungannya ke bekas Ibukota Pakuan bersama Scipio, ia kemudian ingin mendekatkan diri dengan peninggalan Siliwangi. Kampung-kampung seperti Parakan Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranangsiang, Parung Banteng dan Cimahpar adalah kampung-kampung yang didirikan Tanuwijawa bersama pasukannya. Kampung Baru (Parung Angsana) saat itu sudah menjadi semacam "pusat pemerintahan" bagi kampung-kampung yang didirikan secara terpencar oleh anak buahnya. Tanuwijaya pula yang mengambil inisiatif membuat garis batas antara daerah pemukiman orang-orang Banten dengan orang-orang Kumpeni ketika rakyat Pangeran Purbaya mulai membangun pemukiman pada daerah aliran Cikeas.Sementara, daerah aliran Ciliwung antara Kedung Badak sampai Muara Beres telah ditempati orang-orang Mataram yang tidak mau kembali ke daerah asalnya setelah tercapainya persetujuan antara Mataram dan VOC tahun 1677. Sebagian dari mereka adalah pelarian pasukan Bahurekso, sebagian lagi kelompok resmi yang dikirimkan Sunan Amangkurat I tahun 1661 ke Muara Beres, bekas basis pasukan Rakit Mataram ketika mengepung Benteng Batavia. Rasa hormat Tanuwijaya terhadap bekas Ibukota Pakuan demikian besar sampai gerakan okupasinya dihentikkan pada sisi utara Ciliwung. Ia tidak berani melintasinya. Juga kepada rekan-rekannya yang berniat melintasi sungai tersebut dianjurkan agar melakukannya jauh di sebelah hulu (Ciawi dan Cisarua).

        Almarhum M.A. Salmun pernah menulis dalam Majalah Intisari (salah satu nomor tahun pertama), bahwa yang dimaksud Menak ki Mas Tanu dalam lirik lagu Ayang-Ayang Gung ya Tanuwijaya ini. Benar tidaknya, wallaohualam. Tapi, hampir tiap baris lirik lagu itu dapat diterapkan kepada keadaan Tanuwijaya dalam riwayat hidupnya. Ia memang anak emas Kumpeni dan dibenci rekan-rekannya. Ia ditunjuk Camphuijs menggantikan Letnan Pangirang (orang Bali. Atau Makassar?) untuk membuka daerah selatan. Di luar itu, rupa-rupanya, kedekatan batin Tanuwijaya dengan Pajajaran telah melonggarkan ketaatannya terhadap Kumpeni. Ia tentu merasakan bagaimana tidak masuk akalnya seorang letnan seperti dirinya harus tunduk kepada seorang sersan seperti Scipio yang kulit putih, padahal ia sendiri menjadi atasan sersan pribumi. Akhirnya "anak emas" Kumpeni ini menjadi sekutu dan pelindung Haji Perwatasari yang bangkit mengangkat senjata terhadap perluasan daerah kekuasaan VOC. Meskipun, ia ditakdirkan jadi pihak yang kalah. Sebagaimana Haji Perwatasari, Tanuwijaya dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika. Orang dulu menyindir Tanuwijaya dengan "lempa lempi lempong, ngadu pipi jeung nu ompong" (mengejar harapan kosong, bermesraan dengan orang tak bergigi). Yang dimaksudkan dengan "orang tak bergigi" di sini adalah Perwatasari yang kalah dalam perjuangan. Dalam masa penjajahan Belanda, penyusun Babad Bogor (1925), tidak berani mencantumkan nama Tanuwijaya sebagai "bupati pertama". Dalam daftar silsilah biasanya selalu dicantumkan Mentengkara atau Mertakara, kepala Kampung Baru yang ketiga (1706 - 1718), yang menurut De Haan, adalah putera Tanuwijaya. Sebaliknya, para penulis Belanda, lebih leluasa menyebutkan Tanuwijaya sebagai Bupati Kampung Baru pertama dan peletak dasar Kabupaten Bogor.

        Pengalaman Tanuwijaya dengan Kumpeni adalah mirip dengan pengalaman Untung Surapari. Akan tetapi, jika benar lirik Ayang-ayang Gung diciptakan untuk menyindir Tanuwijaya, maka kita patut merenungkannya kembali.Tahun 1745, sembilan distrik -- yaitu Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindangbarang, Balubur, Darmaga dan Kampung Baru -- digabungkan menjadi satu "pemerintahan" di bawah kepala Kampung Baru dan diberi gelar Demang. Gabungan sembilan distrik inilah yang dahulu disebut "Regentschap Kampung Baru" atau "Regentschap Buitenzorg". Atas dasar itulah kedua sungai (Cisadane dan Ciliwung) dalam lambang Kabupaten Bogor masing-masing digambarkan dengan sembilan baris gelombang. Ada benarnya apa yang dikemukakan Riesz, bahwa Kampung Baru (Tanah Baru) adalah "de bakermat" (tempat kelahiran) Kabupaten Bogor.